Free Angel Fly Redhead Help Cursors at www.totallyfreecursors.com

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Senin, 25 September 2017

TRADISI ENDHOG-ENDHOGAN BANYUWANGI


TRADISI ENDHOG-ENDHOGAN BANYUWANGI

ANTUSIAS WARGA BANYUWANGI BEREBUT BERIBU-RIBU TELUR




BANYUWANGISUNRISE




Tradisi ngarak Endhog (telur) memperingati kelahiran Maulid Nabi Muhammad SAW 1437 Hijriyah, digelar di Banyuwangi. Dalam gelaran Festival Endhog-endhogan tersebut, ratusan masyarakat hadir untuk menikmati bersama telur yang ditaruh dalam dalam ancak (semacam tumpeng) dan jodang di sepanjang jalan depan kantor Pemkab Banyuwangi.
Endhog-endhogan adalah tradisi mengarak telur yang ditancapkan pada jodang pohon pisang dan ancak. Tradisi ini dilakukan hampir di setiap kampung dan desa di seluruh Banyuwangi sebagai peeingati kelahiran Nabi Muhammad SAW.
Seperti tahun sebelumya festival yang dimulai pukul 15.30 WIB ini, diawali dengan arak-arakan jodang dan ancak, dari dua penjuru jalan sebelah utara dan selatan menuju kantor pemkab. Jika tahun lalu digelar di simpang lima tengah kota Banyuwangi, kali ini digelar di lokasi yang berbeda untuk memberikan nuansa lain perayaannya.



TRADISIMAULUDAN



Event yang  digelar sebagai bentuk kecintaan kita kepada Kanjeng Nabi Muhammad SAW yang senantiasa diharapkan syafaatnya kelak Ini merupakan cara masyarakat Banyuwangi untuk terus menghidupkan tradisi dan kekayaan budaya Banyuwangi agar tak lekang oleh waktu. Peserta sengaja melibatkan semua lurah dan SKPD agar mereka juga memberi teladan memahami tradisi ini, sehingga tumbuh kecintaan pada budaya aslinya. 
Selain itu acara ini juga untuk menumbuhkan kembali semangat kebersamaan membangun Banyuwangi. “Dengan tema “Menebar Sholawat, Mengunduh Cinta Nabi Muhammad, Banyuwangi Penuh Rahmat diharapkan Banyuwangi akan penuh dengan rahmat sesuai tema yang usung kali ini."
Arak—arakan ini ratusan peserta. Masing-masing perwakilan membawa 3 ancak dan dua jodang yang dihias dan berisi ratusan telur untuk diarak dan dimakan bersama. Total jumlah telur yang dibagikan ke masyarakat dalam pawai ini, ada 2.000 butir dan 480 ancak.


WARISANBUDAYABANYUWANGI


Sembari berpawai, mereka menggemakan bacaan sholawat Nabi. Sehingga yang terasa bukanlah sekedar pawai arak-arakan, melainkan pawai yang menghidupkan gema sholawat nabi. Sambil diiringi tarian Islam, salah satunya Rodat Siiran.
Setelah arak-arakan terkumpul di satu titik, jodang telur dan ancak yang berisi tumpeng ini dibagikan ke masyakat untuk dimakan bersama-sama. Tidak ada perbedaan antara pejabat dan masyarakat, semua tanpa canggung berebut  telur dan tumpeng untuk di makan bareng-bareng.Asyik, ada endhog-endhogan, selain insyalloh berkah tradisi ini juga menyenangkan.
Sementara itu, Kepala Bagian Humas & Protokol Juang Pribadi mengatakan tradisi endhog-endhogan ini biasa digelar di Banyuwangi sejak puluhan tahun yang lalu setiap Maulid Nabi Muhammad SAW tiba. Mengapa endhog?  Ini terkait dengan filosofi telur sendiri, di mana dalam telur memiliki tiga lapisan. Yakni, kulit (cangkang, Red), putih dan kuning yang ketiganya simbolisasi dari nilai-nilai Islam. Kulit bermakna Iman, Putih telur adalah Islam, dan Kuning diartikan Ihsan.
Sedangkan telur yang ditancapkan pada jodang mengadung makna makna dan simbol kehidupan yang sangat bagus, dimana pohon pisang tak akan mati sebelum berbuah. Dan jika ditebas di dalamnya masih ada lapisan yang baru dan akan terus tumbuh. Inilah makna yang luar biasa dari tradisi endog-endhogan kabupaten Banyuwangi

FESTIVAL MEMENGAN TRADISIONAL BANYUWANGI

FESTIVAL MEMENGAN TRADISIONAL BANYUWANGI


Banyuwangi



Sebagai kota layak anak, Banyuwangi gencar melestarikan berbagai permainan tradisional yang nyaris punah. Salah satunya menggelar Festival Memengan (mainan). Ribuan anak-anak SD hingga SMP unjuk gigi, memainkan beragam permainan tempo dulu yang sudah mulai punah.
Festival di jalan protokol Banyuwangi ini menjadi atraksi menarik bagi warga. Jalanan disulap menjadi arena bermain yang asyik. Mereka berparade sambil bermain aneka mainan lawas. Seperti, egrang bambu, gasingan, bedhil-bedhilan, gobag sodor, engklek, dakon, bintang aliyan, medi-median, balap karung, klompen panjang, tarik tambang hingga dagongan.




BupatiBanyuwangi




Peserta di hadiri oleh  seluruh, siswa SDN yang ada di Banyuwangi. Anak-anak mengaku sangat senang bisa ikut bermain permainan tradisional. melihat  bermain klompen yang terbuat dari kayu kelapa bersama teman-teman. Tadinya dari yang tidak bisa memainkan alat tersebut, tapi setelah berlatih selama satu minggu akhirnya bisa. Ternyata sangat menyenangkan bermain permainan ini. Selama ini mungkin ada yang belum pernah main sebelumnya. 
Tak hanya bermain permainan tradisional, anak-anak tersebut juga menampilkan bakat seni dan budaya. Seperti melakukan tarian barong cilik dan jaranan buto. Sebagian anak juga bermain alat musik yang tidak biasa, mereka membentuk formasi drum band yang alat musiknya terbuat dari bahan-bahan yang ada di lingkungan rumah. Seperti terompet yang terbuat dari janur kelapa dan seruling dari pipa paralon, ditambah iringan rebana, menghasilkan irama musik yang unik. Sangat kreatif.
Suasana makin meriah saat suara peluru kertas dari senapan bambu dan pelepah pisang berdesingan di udara. Mirip di medan perang. Tak mau kalah Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas juga ikut bermain tembak-tembakan bersama mereka.
Anas juga ikut bermain hulahop, egrang, berjalan di atas batok kelapa dan mobil-mobilan dari bambu. Anas mengatakan, sebagian anak-anak kemungkinan tidak mengenal permainan-permainan tradisional seperti ini.
Padahal permainan tradisional memiliki banyak filosofi. Dengan digelarnya festival memengan ini, sekaligus sebagai upaya untuk memperkenalkan pada anak-anak.



memengan BWI



Orang tua, bisa bernostalgia dengan permainan-permainan yang pernah mereka mainkan semasa anak-anak.Orang tua bisa nostalgia pada permainan yang populer di masa mereka dulu. Upaya ini sekaligus memperkenalkan pada anak-anaknya dan pemda Banyuwangi berharap bisa membiasakan pada anak-anak mereka tentang tradisi dolanan masa kecil yang tidak boleh di lupakan.permainan tradisional memiliki banyak unsur gotong royong. Sehingga menumbuhkan kebersamaan dan kepedulian pada anak-anak. Saat in, anak-anak lebih banyak menghabiskan waktunya untuk bermain gadget, sehingga lebih banyak asyik sendiri. tradisi memengan Ini juga sebagai bentuk pendidikan karakter, mengajak mereka belajar kebiasaan baik, yang sesuai perkembangan usia anak. Lewat permainan tradisional, mereka akan banyak belajar mengasah kreativitas dan dilakukan secara berkelompok.

Minggu, 17 September 2017

FESTIVAL PADI KABUPATEN BANYUWANGI

FESTIVAL PADI KABUPATEN BANYUWANGI

KEMERIAHAN FESTIVAL PADI 



PADIFESTIVAL



Ribuan masyarakat menyemut di sepanjang jalan yang memisahkan antara berhektar-hektar sawah dan kantor balai desa Sumbergondo, Kecamatan Glenmore. Laki-laki, perempuan, tua, muda, pejabat, rakyat hingga pelajar, semua tumplek blek ikut serta merasakan kemeriahan Festival Padi yang pertama kali digelar di Banyuwangi.
Festival padi kali ini, tak seperti festival budaya pada umumnya yang didominasi tari dan kesenian. Namun, ekspresi kebudayaan agrikultur kala mengawali masa tanam yang memadukan antara kultur dan spritualitas yang biasa dikenal sebagai tiris menjadi daya tarik tersendiri.
Bukan hanya gebyar, tapi festival padi ini nguri-nguri tradisi. Ada kultur, ada spritual dalam sistem bercocok tanam di Banyuwangi yang harus dilestarikan dan diwariskan kepada generasi selanjutnya.





BUPATIBANYUWANGI




Diawali dengan arak-arakan tiga jenis tumpeng yang berasal dari tiga penjuru, prosesi upacara tiris. Yakni tumpeng gunung, bucung, dan kunir. Tak sekedar tumpeng, namun ada makna filosofis yang melatarbelakanginya. Tumpeng gunung perlambang kejujuran, bucung lambang ketekunan dan kunir adalah cahaya, ungkap Prayitno, dalang yang memimpin prosesi tiris dalam bahasa Jawa.
Seusai prosesi ritual yang ditutup dengan doa, semua masyarakat dan tamu undangan menyantap tumpeng yang digelar di sepanjang jalan pingiran sawah itu.
Prosesi tiris dilanjutkan dengan penempatan cok bakal di pintu air utama yang mengaliri sawah-sawah. Cok bakal berupa ubo rampe yang berisi kembang tiga warna, madu, dan hasil bumi dibungkus kecil-kecil dengan daun pisang. Peletakannya dilakukan oleh Bupati Anas. Menandai prosesi tanam padi mulai dilaksanakan.
Di sawah seluas 2 Ha dari 400 Ha sawah di Sumbergondo, para pejabat dan masyarakat berbaur untuk mencoba berbagai tahapan menanam padi. Mulai membajak, meratakan sawah hingga menancapkan bibit padi, menjadi sajian yang seru dalam festival tersebut.
Bupati Anas dan semua Forpimda, lengkap dengan seragam kebesarannya, turun bersama di sawah berlumpur. Mereka turut membajak sawah dengan mengendarai singkal (bajak) tradisional yang ditarik dua kerbau, sampai ikut menanam padi (tandur) dengan berjalan mundur.






Festival Padi(OFFICIAL PEMKAB BANYUWANGI) - YouTube

https://www.youtube.com/watch?v=9tUqKuAtvIE









Sengaja (forpimda) masih mengenakan seragam lantas turun ke sawah, agar bisa memberikan rasa bangga kepada para petani.
Pada kesempatan tersebut, ratusan pelajar juga ikut dilibatkan. Hal ini sebagai bentuk pengenalan kepada generasi selanjutnya terhadap berbagai tradisi dalam dunia pertanian.Agar mereka (pelajar) mengenal sawah dan pertanian. Karena kini menjadi petani mulai ditinggalkan oleh generasi muda.
Dengan Festival Padi ini, diharapkan bisa mendongkrak citra petani. Menjadi petani adalah hal yang bermartabat dan amat penting dalam menjamin ketahanan pangan.Mereka libatkan anak muda dan pelajar, agar terekam dalam memori mereka bahwa menjadi petani itu adalah hal yang penting.Dengan festival inilah, masyarakat menyentuh kepercayaan diri petani.
Banyuwangi sebagai lumpung padi di Jawa Timur menjadi andalan dalam memenuhi suplai beras di Jawa maupun Indonesia timur. Pada Semester pertama tahun 2016, tingkat produktivitas padi di Banyuwangi mencapai  65,30 Kwintal/ Hektar. Sampai bulan Juni kemarin, ada 424.998 ton padi yang dipanen dari 64.967 Ha sawah. Sedangkan ketersedian berupa beras mencapai 247.080,25 ton. Dengan asumsi kebutuhan konsumsi riil penduduk Banyuwangi yang mencapai 71.855,21 ton. Ada surplus beras di Banyuwangi yang mencapai 175.225,03 yang disalurkan ke luar daerah.





Jumat, 15 September 2017

TRADISI TUMPENG SEWU BANYUWANGI


TRADISI TUMPENG SEWU BANYUWANGI 

KEBUDAYAAN MASYARAKAT BANYUWANGI MENGUCAP SYUKUR




Banyuwangifestival



Tumpeng Sewu adalah selamatan massal yang digelar setiap satu Dzulhijah oleh masyarakat kemiren. Tujuannya, bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas keberkahanan yang mereka terima.
 Tumpeng sewu diyakini merupakan selamatan tolak bala dan menghindarkan dari segala bencana dan sumber penyakit.Kalau ritual itu ditinggalkan, maka akan berdampak buruk kepada masyarakat Desa Kemiren, sehingga warga Osing menjaga tradisi itu hingga turun temurun, Sesepuh adat Desa Kemiren Juhadi Timbul.
Ritual tumpeng sewu ini ditandai dengan kegiatan dimana setiap rumah membuat nasi dalam bentuk kerucut dengan lauk pauk khas Using, yakni pecel pithik (ayam panggang dicampur kelapa, red) ditaruh di depan rumah.





tradisi TumpengSewu




Bentuk mengerucut ini memiliki makna khusus yakni petunjuk untuk mengabdi pada sang pencipta (hablum minallah) di samping kewajiban untuk menyayangi sesama (hablum minannaas). Sementara pecel pithik itu  mengandung pesan moral yang bagus, yakni ngucel-ucel barang sithik. Dapat juga diartikan mengajak orang berhemat dan merasa cukup dengan harta yang dimiliki meskipun sedikit.
Dengan diterangi oncor ajug-ajug (obor bambu berkaki empat), tumpeng sewu ini menjadi sebuah ritual yang khas dan tetap sakral. Sebelum makan bersama, warga desa Kemiren mengawalinya sholat maghrib berjamaah dan doa bersama. Usai makan bersama,  selepas isya’, warga membaca Lontar Yusuf hingga tengah malam di rumah salah seorang tokoh masyarakat setempat. Lontar Yusuf yang merupakan rangkaian dari ritual ini menceritakan perjalanan hidup Nabi Yusuf.



TumpengSewu BWI



sumber:http://eventbanyuwangi.com

Rabu, 13 September 2017

FESTIVAL WAYANG KULIT BANYUWANGI

FESTIVAL WAYANG KULIT BANYUWANGI 

WARISAN BUDAYA BANYUWANGI




BANYUWANGI


 Pagelaran wayang kulit kembali memeriahkan Banyuwangi Festival. Setelah tampil dua tahun, Ki Manteb Soedharsono kembali tampil di Banyuwangi. Ki Mantep akan unjuk kebolehannya selama semalam suntuk di Lapangan Maron Genteng.
Dalang kondang asal Karanganyar Jawa Tengah ini akan memuaskan pecinta seni tradisional ini dengan lakon Lakon ‘Ismoyo Maneges’. Dikatakan Plt Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, MY Bramuda, lakon ini  sengaja dipilih untuk memberikan sekilas gambaran tentang seorang pemimpin yang sedang meminta petunjuk kepada sang Pecipta atas kondisi dunia yang penuh dengan kekacauan.




WAYANGKULIT WARISANBUDAYA




Ismoyo adalah perwujudan Semar. Sedangkan maneges berarti minta. Kisah ini berisi tentang kegelisahan Semar atas kondisi dunia. Dia kemudian semedi untuk meminta petunjuk dari Yang Maha Kuasa dan akhirnya bisa mengatasi beragam masalah.Secara singkat, Ismoya Maneges berkisah tentang negeri Astina yang dilanda perpecahan karena perbedaan pendapat. Semar pun lalu meminta petunjuk untuk mengatasi masalah ini.
Festival Wayang Kulit ini digelar sebagai salah satu sarana untuk melestarikan kesenian Jawa. Selain Using, di Banyuwangi suku Jawa juga dominan, khususnya di wilayah selatan Banyuwangi. Dalam B-Fest ini, kami akomodir gelaran-gelaran yang mewakili sejumlah kebudayaan setempat. Wayang ini salah satunya.




PAGELARAN WAYANGKULIT




Lebih jauh, kata Bramuda, permainan wayang kulit ini mengandung filosofi dan makna yang dalam dari setiap lakon yang mainkan dalang.Untuk itu Banyuwangi sengaja datangkan kembali dalang klasik Ki Manteb untuk menceriterakan lakon yang bisa menjadi tauladan dan contoh. Ki Mantep akan tampil semalam suntuk dengan sabetan-sabetan khasnya. Dipastikan para pecinta wayang kulit akan terpuaskan.
Dalam performnya nanti dalang yang terkenal mahir pada olah suara ini akan memainkan ceritanya dengan diiringi tampilan peralatan audio yang canggih.




sumber:www.banyuwangikab.go.id

Selasa, 12 September 2017

BANYUWANGI BATIK FESTIVAL

BANYUWANGI BATIK FESTIVAL 

AGENDA TAHUNAN BANYUWANGI

BBF


 Lagi-lagi Banyuwangi Batik Festival 2017 membuktikan meningkatnya kualitas batik Banyuwangi. Tandem pelaku industri kecil menengah (IKM) dan desainer nasional tahun ini kembali menegaskan, Banyuwangi serius meningkatkan level batik daerahnya.
Mahakarya yang ditampilkan oleh sepuluh desainer nasional berkolaborasi dengan 15 IKM lokal berhasil menyuguhkan suguhan apik yang mempesona dalam panggung BBF yang digelar di Taman Blambangan. 
Desainer Priscilla Saputro menyuguhkan koleksi "ready to wear" dengan warna megah yang dibawakan oleh Putri Indonesia 2017 Bunga Jelita Ibrani. Juga ada desainer Italia Milo Miliavacca menggandeng IKM Satrio Batik yang berhasil menampilkan busana muslim dengan warna cerah.
Desainer Allets dan IKM batik sekar kedaton blambangan yang menampilkan baju pesta dari batik pewarna alam, Gregorius Vici dan IKM Pendawi Batik dan Batik Seblang dengan desain khas retro, desainer Aldre dengan IKM Batik Nozzah menampilkan 10 desain baju batik pria.





BatikBanyuwangi




Ajang ini tidak hanya menarik tapi yang terutama even ini memberikan ruang bagi IKM daerah untuk terus berkembang. Saya sangat mengapresiasi komitmen Banyuwangi untuk memajukan batik lokal dengan menggelar even ini selama lima tahun berturut turut. 
Perhatian pada generasi muda juga mendapatkan apresiasi oleh Mendag. Generasi muda ikut melestarikan kekayaan batik daerah salah satunya melalui sekolah kejuruan batik yang dibangun Pemkab Banyuwangi.
Banyuwangi menggelar festival bukan hanya sekedar untuk mendatangkan wisatawan tapi juga untuk menggerakkan partisipasi publik dalam memajukan daerah. Berbagai even yang digelar menjadi stimulus bagi rakyat untuk meningkatkan potensi, kreativitas dan kemampuannya. Termasuk para IKM batik daerah.
Banyuwangi akan terus menggelar berbagai even untuk mengangkat pamor daerah dan tidak lupa juga terus meningkatkan kekayaan lokal, seperti batik ini. Motif-motif batik terus kami eksplorasi dari kekayaan potensi yang dimiliki Banyuwangi.
BBF sebelumnya mengangkat motif Gadjah Oling, Kangkung Setingkes, Paras Gempal dan Sekar Jagad Blambangan, kali ini BBF menampilkan motif Kopi Pecah. Motif yang juga sarat filosofis sebagaimana motif batik Banyuwangi yang lainnya. "Motif kopi pecah memuat pesan sesuatu yang bagus harus melalui proses dan pengorbanan sebagaimana kopi berkulitas didapatkan.






FestivalBatik





Buah konsistensi pemkab ajeg menggelar batik festival setiap tahun ini, saat ini banyak bermunculan industri dan gerai batik di Banyuwangi. Motif-motif batik pun terus berkembang yang dulunya hanya 20 motif klasik, kini berkembang menjadi lebih dari 50 motif batik. "IKM batik di Banyuwangi yang lima tahun lalu hanya 12, kini berkembang pesat menjadi 50 lebih.
Meski digelar setiap tahun, even ini tetap mendapat animo yang tinggi dari masyarakat Banyuwangi. Seperti yang dituturkan Endang Budahati yang setiap tahun menyempatkan diri menonton BBF. 
Desain-desainnya untuk menambah referensi. Tahun ini meningkat sekali desain baju dan motifnya. 
Pagelaran batik ini pun ditutup manis lewat alunan merdu penyanyi Isyana Sarasvati. Selama satu jam, masyarakat Banyuwangi dan undangan terbius suara merdu penyanyi yang sering membawakan lagu galau ini.




sumber:https://news.detik.com



Senin, 11 September 2017

BANYUWANGI KUWUNG FESTIVAL AND CARNIVAL

  BANYUWANGI KUWUNG FESTIVAL AND CARNIVAL

EVENT TIAP TAHUN BANYUWANGI





Banyuwangi Night Carnaval 'Festival Kuwung Banyuwangi' memukau ribuan undangan dan masyarakat. Event seni dan budaya sekaligus pesta rakyat yang di gelar dalam acara "Hari Jadi Banyuwangi" menyuguhkan beragam tradisi yang dikemas dalam sebuah pertunjukan pawai yang megah. 
Tidak hanya para penari dan aksi teatrikal yang ditampilkan dengan memikat, pawai mobil dengan aneka lampu yang menampilkan miniatur budaya daerah juga mampu mencuri perhatian. Ratusan pendukung acara pun tampil dalam balutan kostum yang atraktif. Ditambah iringan musik tradisional secara live sepanjang acara membuat suasana malam Banyuwangi begitu meriah.
Festival Kuwung 2016, mengangkat tema Kembang Setaman Bumi Blambangan. Tema ini sebagai perlambang keharmonisan hidup masyarakat Banyuwangi yang terdiri dari berbagai etnis dan latar belakang budaya. 




harjaba kuwung festival



Seperti pada pembukaan Kuwung yang menyuguhkan Tradisi Saulak, Suku Mandar. Tradisi Saulak merupakan tradisi pernikahan khas warga Mandar, yang merupakan warga pesisir pantai.
Berikutnya pawai menampilkan etnis Jawa Mataraman. Etnis ini memiliki komunitas yang besar yang mendominasi wilayah selatan Banyuwangi. Kali ini fragmen yang dibawakan berjudul Cungkup Tapanrejo yang mengisahkan babat alas warga Jawa dalam memulai kehidupan baru.
Selain itu juga ada penampilan suku Using yang menampilkan Sarine Kembang Bakung. Cerita ini mengisahkan kegigihan dan semangat masyarakat desa dalam melestarikan budaya adat using, yaitu Seblang Olehsari dan Seblang Bakungan di Kecamatan Glagah. 
Kedua ritual bersih desa yang dipercaya masyarakat setempat sebagai upaya tolak bala' agar terhindar dari wabah penyakit ini terus dilestarikan warga setempat hingga sekarang.

Sementara itu pawai Etnis Madura tampil dengan pakaian khas daerahnya. Para penampil membawakan Tari Topeng dan fragmen yang mengisahkan mata pencaharian mereka sebagai petani kakao.



festivalkuwungmadura



Etnis Bali menampilkan tradisi Melasti Bali Banyuwangen. Juga tidak ketinggalan atraksi Ogoh-ogoh yang menjadi ciri khas perayaan Nyepi umat Hindu.




kuwungfestivalBali



Etnis Tionghoa juga memeriahkan acara dengan menampilkan fragmen bertema Liong harmoni Tionghoa. Mereka menampilkan berbagai tarian dengan kostum khasnya. Suasana semakin meriah dengan penampilan Barongsai.





kuwungfestivalTionghoa
  


Tak hanya itu, Festival Kuwung juga dimeriahkan oleh penampilan defile perwakilan dari beberapa daerah. Seperti Kota Bogor, Kabupaten dan Kota Kediri, Kabupaten Sleman, Kota Probolinggo. Bahkan juga tampil defile seni dan budaya dari Kabupaten Sumbawa Barat yang menampilkan tari kipas.
Tahun 2016 Banyuwangi Festival menghadirkan 53 event sepanjang tahun yang salah satunya adalah Banyuwangi Night Carnaval Festival Kuwung.
Kegiatan ini bukan sekedar cara untuk menarik wisatawan tapi sebagai pesta rakyat sekaligus memberikan panggung bagi anak-anak Banyuwangi untuk menampilkan kreatifitas bakat dan potensinya kepada dunia luar.

Banyuwangi tidak akan pernah bosan untuk terus menggelar beragam festival tidak hanya seni dan budaya tapi beragam festival yang mengangkat potensi lokal daerah. 
Dengan beragam festival perekonomian tumbuh, pariwisata semakin maju, seni dan budaya terus dilestarikan, anak-anak Banyuwangi semakin percaya diri. Banyuwangi tidak akan berhenti untuk terus membangun daerah.












SAKRALNYA TRADISI KESENIAN BARONG

SAKRALNYA TRADISI KESENIAN BARONG 

WARISAN BUDAYA BARONG BANYUWANGI




Barong Lare Osing




Barong Kemiren adalah kesenian asli dari Desa Kemiren,Glagah. Salah seorang budayawan asli Kemiren, menuturkan barong Kemiren hasil ciptaan asli warga Kemiren kuno. Namanya, Sanimah abad ke-16. Barong kuno itu bentuknya jelek dan buruk rupa. Barong kuno itu kemudian diwariskan kepada anaknya, Tompo ( Eyang Buyut Tompo/ Mbah Tompo ). Selama penjajahan Belanda, Tompo mengungsi ke kota sambil membawa barong. Di kota, Tompo bertemu Sukip dan Win yang ahli membuat barong. Karena terkesan, Tompo yang banyak memiliki uang meminta dua ahli barong itu untuk membuatkannya. Lahirlah barong baru yang lebih bagus. Usai perjuangan perang melawan Belanda, Tompo kembali ke Kemiren sambil membawa barong barunya. Sejak itu, barong memasyarakat di Kemiren. Barong Tompo kemudian diwariskan ke Surtaman dan Samsuri. Dari sinilah kesenian Barong tumbuh hingga sekarang. Lain lagi halnya menurut penuturan Sucipto tentang barong Kemiren, pada sekitar tahun 1647 Mbah Tompo bermimpi diminta membuat barong. Bersama temannya, Mbah Soeb, keduanya melaksanakan perintah dalam mimpi itu. "Anehnya, ketika membuat barong, tangan mereka seperti ada yang menggerakkan. Jadilah bentuk barong seperti barong yang dikenal sekarang," tutur Ketua Barong Tresno Budoyo ini. Barong yang dibuat Mbah Tompo dan Soeb inilah yang terus dipakai sampai sekarang. Diperkirakan usia barong sekitar 361 tahun. Meski usianya sudah berabad-abad, fisik barong tetap utuh. Barong ini harus disimpan oleh keturunan Mbah Tompo, yang sekarang sudah sampai pada generasi keempat. Konon saat itu ada cerita lain lagi, di desa Kemiren ada pertunjukan Seblang yang dimainkan Embah Sapua. Ketika penari seblang kesurupan, terjadilah dialog dengan Eyang Buyut Tompo agar pementasan seblang dipindah ke desa Ole-Olean ( Olehsari ), sedangkan di desa Kemiren dipentaskan seni barong. Sejak saat itu ada ketentuan yang harus dipegang teguh oleh masyarakat, yakni masyarakat Desa Kemiren tidak diperkenankan mementaskan seblang, dan sebaliknya masyarakat Olehsari tidak boleh mementaskan barong. Seni Barong yang diciptakan BuyutTompo ini didasari oleh leluhur masyarakat Kemiren, Eyang Buyut Cili, yakni tokoh yang dimitoskan dan dianggap sebagai danyang atau penjaga desa Kemiren. Oleh karenanya setiap pementasan, yakni tatkala barong mengalami kesurupan yang masuk/merasuki adalah Eyang Buyut Cili. Tari Barong Di beberapa Prosesi Ritual Di Kemiren Pada awalnya, Tari Barong adalah seni pertunjukan yang bersifat sakral dan pementasannya dilaksanakan hanya pada saat-saat tertentu, misalnya pada saat upacara bersih desa yang diselenggarakan pada minggu pertama bulan Haji (Besar). Tetapi, dewasa ini seni barong sudah menjadi pertunjukan yang bersifat hiburan sehingga bisa dipentaskan pada saat pesta perkawinan, khitanan, atau pergelaran-pergelaran seni lainnya. Kesenian ini merupakan seni rakyat yang secara khusus mengandung ciri khas Using, baik yang menyangkut musik, tari, dialog, maupun ceritanya. Tari Barong biasanya diiringi beberapa gamelan khas, seperti kendang, kecrek, gong dan ketuk. Sekilas, gamelan Barong mirip Kuda Lumping dan Reog Ponorogo. Bedanya, Barong tidak menggunakan terompet. Personal Barong 12 orang, terdiri atas dua penari Barong, dua penari berbentuk ayam. Barong ditarikan dua orang, di kepala dan di bagian ekor. Gending pengiring Barong sarat petuah kehidupan. Musiknya rancak seperti orang bertarung sebagai simbol kebersamaan. Ada sekitar 20 jenis gending pengiring Barong. Di antaranya, kembang jeruk, prejengan dan kopyahan. Dalam sekali tarian membutuhakan waktu sekitar 2 jam. Tari Barong diakhiri tari Ayam Bertarung, simbol suasana kemenangan.







Upacara Bersih Desa

Pemangku adat Desa Kemiren, barong dipakai dalam upacara bersih desa, yang dilakukan setiap setiap tanggal 2 Syawal atau Lebaran ( idul Fitri ) kedua, yang disebut upacara Idher Bumi. Barong dengan tabuhan gamelan mengelilingi desa dan ditutup dengan makan bersama di sepanjang jalan desa. Dalam acara Ider Bumi ada empat jenis tarian Barong yang ditampilkan dan mempunyai cerita sendiri-sendiri. Keempat jenis Barong tersebut adalah Barong Tua, Barong Remaja, Barong anak-anak dan Barongsai. Keempat jenis Barong adalah sebagai lambang generasi-generasi yang menghuni desa Kemiren. Diikutkannya Barongsai dalam acara tersebut karena di desa Kemiren yang terkenal dengan Kampung Using ternyata ada etnik lain yang menghuninya, yaitu Tionghoa. Acara serupa dilaksanakan setiap tanggal 1 bulan Haji dengan membuat seribu tumpeng atau dikenal dengan selamatan "Tumpeng Sewu". Ritual ini sebagai ucapan syukur masyarakat karena diberikan rejeki berlebih. Barong sebagai sarana ritual kesuburan tampak pada makanan yang disajikan, yakni makanan hasil bumi, seperti nasi tumpeng dan sayur, jajan pasar, pala kependhem, pala gumandhul, dan pala kesimpar. Selain Ritual ini dilaksanakan untuk menghormati danyang desa Kemiren agar kemakmuran desa tetap terjaga dan terjauhkan dari bencana. Tersebutlah riwayat 20 tahun lalu. Upacara ini pernah ditinggalkan karena hujan lebat. Beberapa hari kemudian, istri salah satu ahli waris barong kesurupan. Ia berteriak-teriak marah karena Idher Bumi tidak digelar. Tidak lama kemudian, bayi wanita itu meninggal. warga takut kalau sampai ritual Idher Bumi tidak digelar. Kesakralan Barong juga dimanfaatkan untuk pengobatan penyakit. Obat diambilkan dari kemenyan yang dibakar di bawah tubuh barong, lalu dilarutkan dalam air, yang dipercaya bisa mengobati berbagai penyakit, mulai buta hingga sakit perut.mulai pukul 21.00 sampai 06.00 keesokan harinya.




ritual sakral BWI


 Sucipto, 45 tahun, lelaki kelahiran Banyuwangi itu, tengah berupaya melakukan regenerasi agar kesenian itu tak punah. Melihat pemain kesenian barong yang kian uzur usianya, membuatnya resah. Tanpa menghilangkan keasliannya, ia mempermudah pakem kesenian itu agar bisa memancing minat kalangan muda. Beliau tidak mau berkutat pada pakem. Beliau bikin tarian-tarian dan cerita sendiri yang lebih mudah dihafal anak muda. Waktu bermainnya singkat menjadi satu setengah jam, beliau yang sudah bermain barong sejak anak-anak. Dari tiga tahap cerita pada barong, Sucipto meringkasnya menjadi satu tahap saja. Isi cerita lebih bermuatan pesan moral, mengajak orang saling menghormati dan tidak mengambil hak orang lain. Benar saja. Lebih dari 50 remaja Desa Kemiren menawarkan diri bermain barong. Sucipto memilih 36 orang. Pada 21 Mei 2007, terbentuklah Barong Lancing ( perjaka ) atau Barong Sapujagat, yang anggotanya berasal dari remaja usia SMP dan SMA. Ia juga membentuk Barong Cilik dari kalangan TK dan SD. Semua peralatan disesuaikan dengan kemampuan anak-anak ini. Beliau orang Kemiren. Kalau bukan Beliau, siapa yang mau peduli meneruskan barong Kemiren. Ternyata upaya Sucipto mendapat apresiasi masyarakat. Terbukti beberapa waktu yang lalu, pernah Barong Lancing diundang Gubernur Jawa Timur Imam Utomo menggelar pentas dalam sebuah acara di Surabaya. Upaya melestarikan Kesenian Barong di Banyuwangi makin ditingkatkan dengan diadakannya Festival Tari Barong untuk kategori kelompok dewasa maupun Anak-anak dengan penilaian kreasi gending dan kreasi seni barong yang ditampilkan. Sebelumnya di Kabupaten Banyuwangi yang masih mempertahankan orisinilitas kesenian barong kurang lebih berjumlah empat kelompok, yaitu kelompok Seni Barong Kemiren,Mandalikan, Mangli, dan Jambesari. Akan tetapi, dari keempat kelompok itu hanya kelompok seni Barong Kemiren saja yang masih utuh "keUsingannya" dan sering melakukan pementasan. Akhirnya Barong Kemiren menjadi tarian khas Banyuwangi, bahkan salah satu ikon pariwisata tanah Blambangan. Barong Kemiren pernah pentas di Osaka, Jepang, dalam festival tradisional dunia.


sumber:https://id.wikipedia.org

PETIK LAUT WARISAN BUDAYA BANYUWANGI

   PETIK LAUT WARISAN BUDAYA BANYUWANGI 

 Cara Unik Syukuran Nelayan Banyuwangi







Nelayan di Desa Muncar, Kabupaten Banyuwangi punya cara unik mengucap syukur atas rezeki yang didapat dari laut. Setiap tahun para nelayan setempat melaksanakan acara adat Petik Laut Muncar. 
Petik Laut ini adalah warisan leluhur yang disebut sebagai sedekah masyarakat terhadap laut yang selama satu tahun menjadi tempat mereka mengais rezeki. Tradisi yang mulai digelar sejak tahun 1901 ini selalu diadakan pada tanggal 15 Muharam bertepatan dengan pasang air laut. 
Ini sebagai ungkapan rasa syukur para nelayan atas hasil tangkapan ikan yang melimpah. Sekaligus ritual tolak bala. Memohon keselamatan agar terhindar dari bahaya saat berlayar mengarungi lautan. Makanya, tak sekalipun warga nelayan melewatkan tradisi ini karena takut mengalami musibah.
Petik Muncar diawali dengan mengarak sesaji keliling kampung, masyarakat menyebutnya 'ider bumi' dan tirakatan serta pengajian. Sesajian itu yang nantinya akan dilepaskan oleh iringan kapal di tengah laut. 




budaya lokal Banyuwangi




Tradisi ini diawali dengan mengarak sesaji dari rumah sesepuh menuju TPI Muncar untuk dilarung ke tengah segara. Sesaji yang terdiri dari kepala kambing, berbagai macam kue, buah- buahan, pancing emas, candu dan dua ekor ayam jantan yang masih hidup ini ditata apik dalam sebuah replika perahu nelayan.Perahu kecil ini berukuran 5 meter dengan warna serta ornamen umbul-umbul, persis perahu yang digunakan nelayan saat melaut. Inilah yang disebut Gitik. 
Setibanya di lokasi, sesaji disambut enam penari gandrung yang kemudian membawa sesaji itu ke atas kapal. Saat itu lah, warga berebut naik kapal pengangkut sesaji karena meyakini bisa 'tertular' berkah. 
Perjalanan selama satu jam ditempuh kapal-kapal dan diiringi musik-musik dari kapal. Masyarakat tampak antusias berjoged dan selfie ria dari atas kapal di tengah laut lepas. 




Banyuwangi punya tradisi 



Kapal-kapal itu kemudian berhenti di lokasi yang berair tenang, dekat semenanjung Sebulungan. Di sini ritual pelepasan sesaji yang dipimpin sesepuh nelayan dilakukan.
Teriakan syukur sontak menggema saat sesaji jatuh dan tenggelam ditelan ombak. Beberapa nelayan bergegas menceburkan diri ke laut berebut mendapatkan sesaji. Sesekali mereka juga terlihat menyiramkan air yang dilewati sesaji ke seluruh badan perahu.
Warga percaya air ini menjadi pembersih malapetaka dan diberkati ketika melaut nanti.
Usai kemeriahan itu, perjalanan dilanjutkan menuju Sembulungan, sebuah semenanjung kecil di tengah perairan laut Muncar. Di tempat ini, nelayan kembali melarung sesaji untuk ke dua kalinya. 
Jumlah sesajinya lebih sedikit. Konon, ini memberikan persembahan bagi penunggu tanjung Sembulungan. 
Ritual dilanjutkan tabur bunga ke Makam Sayid Yusuf yang ada di semenanjung itu, kemudian diakhiri dengan selamatan dan doa bersama. Sayid Yusuf adalah orang pertama yang membuka lokasi Tanjung Sembulungan.




petik laut Banyuwangi


PEMKAB konsisten mengangkat kearifan budaya lokal yang ada di tengah masyarakat. Salah satunya, dengan mengemas tradisi tersebut menjadi bagian dalam agenda wisata tahunan Banyuwangi Festival.
Ini bentuk intervensi PEMDA untuk mengenalkan budaya asli Banyuwangi kepada masyarakat global. Dengan membranding tradisi ini dalam kemasan festival, kita berharap tradisi ini akan terus hidup dan menjadi daya tarik yang mampu mengerek kunjungan wisatawan.
Selain itu, masyarakat Muncar harus selalu menjaga kebersihan dan keamanan lingkungan. PEMDA Banyuwangi berharap masyarakat di sini selalu menjaga kebersihan pantai dan laut agar ikannya semakin berlimpah. Sehingga kesejahteraan warga juga semakin meningkat. 



sumber:https://news.detik.com/berita/d-3322030





Jumat, 08 September 2017

TARIAN GANDRUNG SIMBOL SEKALIGUS CIRI KABUPATEN BANYUWANGI


TARIAN GANDRUNG SIMBOL SEKALIGUS CIRI KABUPATEN BANYUWANGI


GANDRUNG BANYUWANGI




Tari Gandrung, atau biasa disebut saja dengan Gandrung Banyuwangi adalah salah satu tarian tradisional Indonesia yang berasal dari Banyuwangi. Oleh karena tarian ini pulalah, Banyuwangi juga di juluki sebagai Kota Gandrung, dan terdapat beberapa patung penari gandrung di setiap sudut kota.Menurut asal muasalnya, tarian ini berkisah tentang terpesonanya masyarakan Blambangan kepada Dewi padi, Dewi Sri yang membawa kesejahteraan bagi rakyat

tarian gandrung khas Banyuwangi


Menurut catatan sejarah, gandrung pertama kalinya ditarikan oleh para lelaki yang didandani seperti perempuan dan, menurut laporan Scholte (1927), instrumen utama yang mengiringi tarian gandrung lanang ini adalah kendang. Pada saat itu, biola telah digunakan. Namun, gandrung laki-laki ini lambat laun lenyap dari Banyuwangi sekitar tahun 1890an, yang diduga karena ajaran Islam melarang segala bentuk transvestisme atau berdandan seperti perempuan. Namun, tari gandrung laki-laki baru benar-benar lenyap pada tahun 1914, setelah kematian penari terakhirnya, yakni Marsan.
Menurut sejumlah sumber, kelahiran Gandrung ditujukan untuk menghibur para pembabat hutan, mengiringi upacara minta selamat, berkaitan dengan pembabatan hutan yang angker.
Tradisi gandrung yang dilakukan Semi ini kemudian diikuti oleh adik-adik perempuannya dengan menggunakan nama depan Gandrung sebagai nama panggungnya. Kesenian ini kemudian terus berkembang di seantero Banyuwangi dan menjadi ikon khas setempat. Pada mulanya gandrung hanya boleh ditarikan oleh para keturunan penari gandrung sebelumnya, namun sejak tahun 1970-an mulai banyak gadis-gadis muda yang bukan keturunan gandrung yang mempelajari tarian ini dan menjadikannya sebagai sumber mata pencaharian di samping mempertahankan eksistensinya yang makin terdesak sejak akhir abad ke-20.
tradisi gandrung sewu Banyuwangi

Tarian ini di bawakan sebagai ucapan syukur masyarakan pasca panen dan dibawakan dengan iringan instrumen tradisional khas Jawa dan Bali. Tarian ini di bawakan oleh sepasang penari, yaitu penari perempuan sebagai penari utama atau penari gandrung, dan laki-laki yang biasa langsung di ajak menari, biasa disebut sebagai paju.


sumber:http://www.eastjava.com/tourism/banyuwangi/ina/gandrung-dance.html

Rabu, 06 September 2017

TRADISI KEBO-KEBOAN ALAS MALANG DI KABUPATEN BANYUWANGI

TRADISI KEBO-KEBOAN ALAS MALANG DI KABUPATEN BANYUWANGI

Warisan budaya Banyuwangi


AsliLareOsing


Wisata Banyuwangi- Masyarakat suku Osing Banyuwangi mempunyai tradisi unik dalam rangkaian selamatan desa sebagai ungkapan rasa syukur atas hasil panen yang melimpah sekaligus sebagai upacara bersih desa agar seluruh warga di beri keselamatan dan di jauhkan dari segala marabahaya. Ritual yang rutin di gelar setiap tahun sekali, konon tradisi ini sudah berlangsung sejak abad 18. Warga setempat meyakini jika tidak dilakukanakan muncul musibah di desa mereka.











Kebo-Keboan adalah bahasa daerah yang berarti kerbau jadi-jadian. Kerbau di pilih menjadi simbol karena merupakan hewan yang di aku sebagai mitra petani sawah. kerbau juga merupakan tumpuan mata pencaharian masyarakat desa yang mayoritas sebagai petani.
Pada awalnya ritual kebo-keboan ini dilakukan untuk memohon turunnya hujan pada saat musim kemarau dan sebagai penolak bala, tradisi kebo-keboan ini sudah berlansung ratusan tahun sekitar 300 tahun mulai abad ke 18, menurut budayawan banyuwangi Hasnan Singodimayan terdapat perbedaan antara kebo-keboan Alasmalang dan Aliyan, dari namanya jika desa aliyan namanya "Keboan" bukan kebo-keboan sedangkan nama "Kebo-keboan" lebih dikenal di Alasmalang, didesa Aliyan masyarakat yang menjadi kerbau tidak ditentukan oleh pemuka adat setempat melainkan arwah leluhur yang memilih siapa saja yang mmenjadi keboan sebaliknya didesa Alasmalang pemeran kebo-keboan dipilih oleh pemuka adat.
Walaupun sama kebo-keboan atau keboan ritual ini tidak menggunakan hewan kerbau sebagai sarana upacara, kerbau yang digunakan adalah binatang jadi-jadian berupa manusia yang berdandan mirip kerbau kemudian beraksi mirip kerbau disawah, Hasnan menjelaskan malam sebelum tampil orang-orang yang menjadi kerbau bisa kesurupan oleh roh leluhur perangai orang yang kesurupan mirip dengan kerbau dan hampir semua pemain keboan di desa aliyan kesurupan roh leluhur, sedangkan di Desa Alasmalang tidak semua kesurupan roh leluhur, katanya jumlah pemeran kebo-keboan di Alasmalang sekitar 18 orang, sedangkan di desa Aliyan tidak tentu.







Ritual ini digelar setahun sekali yakni pada bulan Muharram atau suro (penanggalan jawa), kenapa bulan Muharrom atau suro karena bulan ini diyakini memiliki kekuatan magis, awal munculnya ritual kebo-keboan di Alasmalang berawal ketika terjadi musibah pagebluk, saat itu warga diserang penyakit serta tanaman, banyak warga yang mati karena kelaparan karena keadaan gawat sesepuh Desa Mbah Karti melakukan meditasi disebuah bukit, kemudian mendapatkan wangsit yang isinya menyuruh warga menggelar ritual kebo-keboan dan mengagungkan Dewi Sri yang dipercayai sebagai simbol kesuburan serta kemakmuran. dan setelah malkukan ritual keajaiban muncul warga yang sakit mendadak sembuh, hama yang menyerang padi sirna dan sejak saat itulah kebo-keboan dilestarikan, mereka takut karna terkena musibah jika tidak melaksanakannya, pada saat menyaksikan warga berebut ingin ditanduk, konon jika ditanduk pemeran kebo-keboan dan sampai jatuh maka warga yang di tanduk akan mendapatkan rizki dan panennya lancar
Ritual kebo-keboan akan melibatkan sesepuh dusun, seorang pawang, perangkat dusun, kebo-keboan, pembawa sesajen, pemain musik hadrah, pemain barongan dan warga untuk bersama-sama melakukan pawai ider bumi mengelilingi dusun krajan, pawai ini dimulai di petaunan menuju ke bendungan air yang berada du ujung jalan dusun krajan sesampainya di bendungan jagatirta (petugas penatur air) akan membuka bendungaan agar air mengalir ke sepanjang jalan dusun yang sebelumnya telah ditanami tanaman palawija.






khas banyuwangi





Setelah menyaksikan ritual kebo-keboan, anda dapat menyambangi makam keluarga Mbah Karti dan keturunannya di Alasmalang dan ditempat itupula terdapat batu yang mirip tempat tidur yang dikenal dengan nama Watukloso, diyakini batu tersebut dahulunya adalah tempat istirahat Mbah karti, dan nama Alasmalang sendiri berasal dari kata alas (hutan) dan malang (melintang) hal itu dikaitkan dengan keberadaan hutan yang melintang di atas bukit panjang didaerah tersebut.
Sedangkan keboan desa Aliyan menurut sejarahnya Buyut wongso kenongo adalah pendiri cikalbakal desa Aliyan, buyut wongso kenongo memiliki dua putra, buyut pekik menjadi leluhur masyarakat desa aliyan sementara buyut turi menjadi leluhur dusun sukodono desa aliyan, warga beda keturunan itu sampai sekarang tidak bisa akur dalam segala hal oleh karena itu setelah diberi doa dibalai desa aliyan, keboan asal sukodono bergerak ke kedawung dan sukodono kemudian mampir ke makam buyut turi sementara keboan asal aliyan bergerak ke aliyan krajan, timurjo, dan cempokosari, dan kemudian mampir ke makam buyut pekik
Demikian sejarah Tradisi Upacara Adat Kebo-Keboan Suku Osing Banyuwangi, semoga bermanfaat dan menambah kecintaan terhadap Banyuwangi.





sumber:http://www.kebanyuwangi.com